Kenapa sih Belanja dengan Panik?

B4lthazaR
3 min readMar 23, 2020

--

https://imgbin.com/png/wpau0nAN/panic-attack-panic-disorder-anxiety-fear-png

Saat ini banyak negara sedang kewalahan dalam menangani pandemi yang terjadi, tidak terkecuali Indonesia. Tidak hanya pemerintah saja yang sibuk, media-media juga ikut sibuk meliput perkembangan pandemi yang disebabkan virus SARS-COVID-2 atau lebih dikenal dengan Covid-19. Virus yang telah menginfeksi 579 orang di Indonesia dan 349.161 orang di dunia (per 23 Maret 2020), telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memberikan himbauan untuk membatalkan acara atau kegiatan yang melibatkan banyak orang, beberapa PTN juga mengubah aktivitas belajar-mengajar menjadi PJJ (pembelajaran jarak jauh). Hal ini menggambarkan bahwa keadaan yang sedang kita hadapi ini begitu serius.

Namun yang menarik, dalam keadaan pandemi seperti ini, muncul satu femonena yang terjadi di masyarakat, yaitu panic buying. Fenomena ini muncul setelah pemerintah Indonesia mengonfirmasi adanya dua pasien positif Covid-19 di Kota Depok. Target dari panic buying ini adalah barang-barang yang dianggap penting untuk mencegah diri agar tidak terpapar Covid-19, misalnya masker, hand sanitizer, dan bahan makanan (seperti beras atau mi instan).

Lalu apa yang mendorong orang-orang untuk melakukan panic buying? Fenomena ini disebabkan oleh tindakan impulsif yang merupakan reaksi alamiah manusia untuk menghadapi situasi yang tidak menentu dan cenderung mengancam. Fenomena panic buying dapat kita amati paling tidak semenjak tahun 1918, dunia pada saat itu sedang dilanda pandemi flu spanyol. Kemudian fenomena yang sama juga dapat diamati pada saat pandemi SARS pada tahun 2003, dan SARS-COV-2 pada tahun 2020 (Mckeever, 2020). Dalam keadaan yang tidak menentu seperti pandemi, kebanyakan orang akan terjebak dalam availability heuristics. Yaitu suatu kondisi dimana kemampuan kognitif kita terbiaskan (cognitive bias), akibatnya penilaian rasional seseorang akan terganggu dan cenderung untuk mengambil keputusan yang cepat meski tidak tepat (Cherry, 2019).

Availability heuristics membahas bahwa dalam membuat suatu keputusan atas suatu kejadian, kita akan membayangkan informasi yang relevan dengan kejadian tersebut. Kemudian kita akan meyakinkan diri bahwa informasi yang ada di pikiran kita adalah benar dan membayangkan seberapa mungkin kejadian tersebut menimpa kita (Cherry, 2019). Contohnya, setelah kita menonton film tentang perang nuklir, maka kita mungkin akan percaya bahwa gesekan antara AS dan Iran yang terjadi di awal Januari 2020 akan memantik perang nuklir skala global. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat Indonesia dalam menyikapi pandemi yang dihadapi, setelah melihat berita bahwa terindetifikasinya pasien positif Covid-19 di Indonesia dan ditambah sulitnya mengidentifikasi siapa saja yang telah menjadi carrier bagi virus tersebut. Maka secara alamiah kita akan berpikir bahwa kita adalah korban selanjutnya, kemudian kita menjadi khawatir secara berlebihan dan akhirnya melakukan panic buying.

Dengan penjelasan di atas, kita bisa melihat bahwa bias availability heuristic ini muncul karena konten media yang dikonsumsi. Misalnya seperti film atau novel yang membahas tentang pandemi global atau bisa juga berita yang mem-framing isu pandemi ini dengan nada yang “menyeramkan”, yaitu dengan mendramatisir kasus Covid-19 dengan–misalnya–hanya menyoroti jumlah kematiannya. Sehingga kita mulai membayangkan skenario terburuk yang dapat terjadi, misalnya tidak bisa keluar rumah sama sekali.

Lalu apa yang dapat kita lakukan untuk mencegah diri kita melakukan panic buying? Dari level individu misalnya, kita harus menyadari bahwa jika kita melakukan panic buying barang-barang yang dibutuhkan untuk menghadapi pandemi ini (seperti hand sanitizer dan masker), ada kemungkinan besar orang lain ikut menjadi panik dan kemudian terjadi efek domino. Sehingga akan menyebabkan inflasi dan shortage of goods di pasar. Sehingga orang lain kesulitan untuk mendapatkan barang tersebut dan memperbesar kemungkinan orang lain terkena Covid-19, jika hal itu terjadi, maka akan semakin sulit untuk memotong rantai penyebaran virus ini. Pencegahan panic buying juga dapat dilakukan oleh pihak penjual atau pemilik toko, yaitu dengan membatasi jumlah pembelian barang-barang yang dianggap penting dalam menghadapi pandemi.

Pemerintah juga perlu ikut berperan dalam pencegahan panic buying, karena dampak yang ditimbulkan akan berakibat pada kestabilan ekonomi nasional. Pemerintah harus memberikan informasi yang aktual dan faktual serta mudah dipahami oleh masyarakat terhadap siatuasi yang berkembang, sehingga masyarakat Indonesia paham langkah-langkah apa yang harus dilakukan. Bukannya malah memberi pernyataan yang tidak berguna sama sekali, seperti yang dikatakan oleh menteri kesehatan, “Kita harus sabar dan berdoa.” Mungkin pemerintah mengira–pada awalnya–bahwa nyawa manusia dapat bisa dibayar dengan sabar dan doa.

Stay healty and just stay at home everyone!

Daftar Pustaka

Cherry, K. (2019). Availability Heuristic and Decision Making. Retrieved March 22, 2020, from verywellmind.com website: https://www.verywellmind.com/availability-heuristic-2794824

Mckeever, A. (2020). Coronavirus is spreading panic. Here’s the science behind why. Retrieved March 21, 2020, from nationalgeographic.com website: https://www.nationalgeographic.com/history/reference/modern-history/why-we-evolved-to-feel-panic-anxiety/

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

B4lthazaR
B4lthazaR

Written by B4lthazaR

Imma just try and keep trying.

No responses yet

Write a response